Duduk
termenung di dekat jendela kamarku. Mengingat memori lama yang terputar bagai
roll film tanpa henti. Tak terasa 14 tahun sudah beliau pergi, meninggalkan
kami bersama senyuman terakhirnya. Masih ku ingat semua itu. Rindu, ungkapan
hatiku saat ini.
“Rajin
belajar ya adek, jangan kecewakan ayah dan semuanya !”, pesan terakhir ayah
dengan senyum terakhirnya. Aku yang saat itu masuh kecil tak tau apa-apa. Ayah
mengusap lembut puncak kepalaku. Aku hanya terheran-heran melihat semua orang
yang ada disini menangis. “Sabar ya adek !”, ucap sanak saudaraku. Dihari itu
juga ayah pergi dengan senyum terakhirnya. Senyum yang sampai saat ini kuingat
lekat-lekat dalam memoriku. Tak terasa aku menangis meski tak tau sebabnya
karena pada saat itu aku masih terlalu kecil untuk mengetahui semua kenyataan
ini. Kakak memelukku dan berkata,”Ayah sudah tenang disana, kakak yakin ayah
akan menjaga kita dari atas sana !”, sambil mengusap lembut punggungku yang
berada dalam dekapannya dan ibu.
“Sabar
ya nak !”, ucap ibuku lembut kepada aku
dan kakakku. Ibu juga menangis. Aku semakin kalut dan semakin menangis dalam
dekapan mereka.
Kini
aku mengerti mengapa saat itu mereka menangis. Ayah yang selama ini melindungi
kami telah meninggalkan kami untuk selamanya dengan dengan pesan terakhirnya
dan senyum terakhirnya pula. Aku yang saat itu masih berumur 10 bulan mulai
menyadari saat aku tak pernah melihat senyumnya lagi, saat aku tak pernah
mendengar nasehat bijaknya lagi, saat aku tak pernah memandang mata teduhnya
lagi.
Air
mataku berlomba-lomba untuk meluncur dari pelupuk mataku. Aku menangis dalam
diam. Tiba-tiba tepukan di pundakku membuyarkan lamunanku. Kuseka air mataku
dengan kasar. “Ngapain masih melamun ? Cepat mandi, katanya mau ikut ke makam
ayah ?”, suara cempreng kakakku mengagetkanku. “Oh iya, lupa aku kak !
Keenakkan melamun sih,hehehe.. Tunggu sebentar, jangan ditinggal lho, awas
kalau sampai ditinggal ya !”, ancamku sambil berlari ke kamar mandi. “Cepetan,
udah di tunggu kakek tuh di luar ! Dasar lelet !”, ejek kakakku. “Iya-iya,
baweel !”, balasku sambil menjulurkan lidahku.
Kini
Kakeklah yang menggantikan sosok ayah di sampingku. Aku dan Kakakku juga sangat
menyayanginya.
Setelah
selesai mandi dan ganti baju aku menyusul kakak dan kakekku yang sedang
berbincang-bincang di teras. “Ayo berangkat !”, ajakku sambil tersenyum manis.
“Mandi apa tidur sih ? Lama amat !”, ucap kakakku sambil mendengus sebal. “Yeeee,
sewot ! Ya mandilah kak !”, ucapku tak mau kalah. Kakek hanya senyum-senyum
melihat tingkah kedua cucunya ini. “Sudah-sudah jangan bertengkar, ayo
berangkat nanti keburu malam !” sahut kakekku menengahi pertengkaran kami.
“Siap bos !”, balasku bersamaan dengan kakakku. Dia hanya melotot. Akupun
membalas pelototan matanya dengan juluran lidah. “Weeek :P”, aku segera berlari
untuk menghindari omelan kakaku sambil tertawa keras. Hahahah :D rasakan itu.
Kami
berangkat sambil bercanda tawa bersama. Sesampainya di makam ayah, aku, kakak,
dan kakek bekerja bakti membersihkan makam ayahku yang mulai di tumbuhi
rumput-rumput liar. Setelah dirasa sudah bersih kami berjongkok di depan makam
ayah. “Ayah, adek, kakak, dan kakek datang lagi. Apa kabar ayah disana ? Maaf
adek baru datang ayah, bukan karena adek sudah lupa sama ayah, tapi karena adek
banyak tugas sekolah. Adek harap ayah tidak marah. Meski adek baru sempat
mengunjugi ayah sekarang, adek tidak lupa berdoa kok untuk ayah !”, ucapku
dalam hati sambi menabur bunga di atas makam ayah. Kakek memulai doanya. Aku
dan kakak mengAmininya. “Amin !”, ucap kami bersamaan mengakhiri doa
bersama-sama. “Ayo pulang !”’ ajak kakekku. Aku menyeka air mataku yang dengan
beraninya meluncur dari kedua bola mataku. Kuanggukkan kepalaku. Perlahan aku
dan kakaku ikut bangkit bersama kakek. “Adek pulang dulu ya ayah, kapan-kapan
adek kesini lagi !”, pamitku kepada ayah dalam hati.
Kami
melangkah perlahan meninggalkan pemakaman ayah. Senyum merekah di bibirku. Aku
lega. “Heh, ngapain senyum-senyum sendiri. Jangan-jangan kesambet setan ya ! Hiii”,
goda kakakku sambil menyikut pinggangku. Aku hanya mendengus sebal. “Dasar
jail, liat aja nanti pasti kubalas !”. Kupasang wajah cemberut. “Hahahaha :D”,
dia tertawa puas melihat tampang masamku. Kakek hanya geleng-geleng kepala
melihat tingkah kami. Senyum terukir di
wajahnya yang masih terlihat gagah meski sudah menua.
Kami
berjalan beriring-iringan dan bercanda tawa sama seperti saat berangkat tadi.
Sepanajng perjalan kakak selalu saja meledekku, aku hanya pasrah karena percuma
aku melawan, toh aku tak akan pernah menang jika sudah berdebat dengan kakakku
satu-satunya ini.
Aku
menyadari. “Pada akhirnya semua yang hidup pasti akan kembali kepada-Nya. Kita
sebagai manusia hanya bisa menerima takdir ini ! Ayah, semoga ayah selalu
bahagia disana. Aku berjanji akan berusaha menjadi yang terbaik untuk semuanya.
Aku tidak akan mengecewakan kalian semua. Fighting Nuyunk !” tekadku dalam hati
sambil melayangkan tinju ke udara. “Dasar gila !”, hardik kakaku sambil
tersenyum sinis. “Masako balado Royco Ajinomoto !” balasku tak mau kalah.
“Hahahaha :D”, kami tertawa bersam-sama. Ayah akan selau aku ingat dihatiku
yang paling dalam. Aku sayang ayah SELAMANYA….!